Minggu, 24 Juli 2011

Idealisme dalam Ruang Isolasi

Idealisme mana lagi yang ingin saya agung2kan? Saya lumpuh pada keangkuhan diri. Kubangan rasa puas ini menelan saya hidup2. Mengijinkan saya berjaya dalam tawa semu. Saya mambatu, menyaksikan yang lain berlari mendekati saya, lalu tak lama kemudian berlari jauh meninggalkan saya. Dan saya masih disini. Diam mendekati lamban melangkahkan kaki, sedikit mempercepat pun tidak.

"Petang hampir tiba, Nona. Apakah nyamanmu belum menemui batas disini?" bayangku dalam cermin menghardik sinis ke arahku. Saya masih diam, lalu seulas senyum terkembang, mencipta manis di wajahku. Saya melengos saja tak peduli.

Petang pun datang selimuti riuh perkotaan. Kadang saya masih terjebak di dalamnya. Bergumul dengan perjuangan semu berwujud retorika yang saya kira itu idealisme. Namun lambat laun saya bertanya-tanya, “Adakah lewat kata semua bisa menjadi baik?” Hembusan nafas yang cukup panjang pun berhasil saya hela. “Harusnya bisa, asalkan kata itu tak hanya berdiam dalam sebuah ruang isolasi. Asalkan kata itu diagungkan dalam sebuah ruang terbuka. Biar semua bebas meraih dan mencerna apa yang tersurat. Biar keterbukaan yang mencipta perubahan.”

Namun saya berfikir kembali, “Saat nanti ruang terbuka mampu saya gapai bersama ‘keluarga’ saya, maukah orang2 itu meraih dan mencerna apa yang kita suratkan dalam media? Adakah orang2 di area terbuka itu merasa peduli? Bukankah mereka tengah sibuk mencari sebongkah berlian untuk sanak mereka masing2 tanpa mengurusi sanak yang lain? Ahh… entahlah!"

Idealisme saya pun kini tak lebih dari sekedar retorika. Saya sadar itu. Lewat kata saya ber-retorika dengan ‘keluarga’ saya dalam sebuah ruang isolasi, yang 2 tahun ini nampak layaknya rumah bagi saya. Tanpa tahu, kapan mutiara yang ada dalam ruang isolasi itu akan membaur bersama udara di ruang terbuka. Dan tak tahu, apakah nanti ada kepala yang mau menoleh untuk kemudian merangsang perubahan terkecil, sebagai jalan awal menuju perubahan besar yang pernah ada. Perubahan yang dicipta oleh saya dan ‘keluarga besar’ saya. Perubahan yang tercipta karena sesuatu yang kami sebut jurnalisme.

2 komentar: